Aturan Jual-Beli Emas dan Valas
Tukar-menukar emas dengan emas, emas dengan uang, atau uang dengan uang yang sejenis atau berlainan jenis oleh para ulama dinamakan sharf, disyaratkan harus tunai, sama nominalnya. Bila berlainan jenis disyaratkan tunai saja. Bila salah satu persyaratan ini tidak terpenuhi, akad dikategorikan riba bai’.
Ustad Dr. Erwandi Tarmidzi
(Ambil dari Majalah Cetak Penguhasa Muslim Edisi Juni 2012)
Definisi Riba Ba’i dalam Emas/Mata Uang
Riba ba’i yaitu riba yang objeknya adalah akad jual-beli. Riba ini terbagi atas dua jenis: Pertama, riba fadhl, yaitu menukar (emas, perak, dan mata uang) dengan yang sejenis dan ukuran berbeda. Misalnya, menukar 10 gram emas 22 karat dengan 11 gram emas 20 karat. Kedua, riba nasiah. Yaitu enukar salah satu harta riba dengan harta riba lainnya yang sejenis atau berlainan jenis akan tetapi ‘illatnya sama (sama-sama alat tukar) dengan cara tidak tunai. Misalnya, menukar 10 gram emas batangan dengan 10 gram kalung emas tidak tunai. Termasuk hal ini adalah beli emas secara kredit.
Dalil Tentang Riba Ba’i
Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, dan sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga boleh berbeda dengan syarat tunai.” (HR. Muslim).
Lebih dari itu, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa serah-terima komoditi riba disyaratkan tunai dan disyaratkan sama ukurannya bila ditukar dengan komoditi yang sejenis, dan bila berlainan jenis dan masih satu illat disyaratkan tunai saja berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Ijma’ ini dinukil oleh An Nawawi (Al-Majmu’ jilid X, hal. 40). Ibnu Munzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa dua orang yang saling menukar uang bila berpisah sebelum melakukan serah-terima uangnya, maka transaksinya tidak sah.” (Al-Ijma’, hal. 92)
Kaidah Riba Ba’i Emas dan Perak
Dalam tukar-menukar emas dan perak, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, menukar harta riba dengan harta riba yang sejenis. Seperti emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, termasuk rupiah ditukar dengan rupiah. Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan dua syarat: (1) Ukuran keduanya harus sama, baik berat – jika satuan barang berdasarkan timbangan – ataupun volume – jika satuan barangnya berupa liter; dan (2) Serah-terima kedua barang harus tunai di majelis akad. Tidak boleh menukar emas X 10 gram dengan emas Y 10 gram, sementara penyerahan salah satunya tertunda. Jika syarat pertama tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba fadhl, dan jika syarat kedua tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba nasiah dan jika kedua syarat tidak terpenuhi akad ini dinamakan riba fadhl–nasiah.
Kedua, menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis tapi satu illat. Seperti menukar emas dengan perak. Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan satu syarat saja. Yaitu serah-terima kedua barang harus tunai dan tidak disyaratkan ukurannya sama. Karena itu, boleh menukar 1 gram emas dengan 20 gram perak dengan syarat harus tunai, dan barang diserah-terimakan di majelis akad. Sekali lagi, tidak boleh ada yang tertunda. Tidak boleh menukar 1 gram emas diterima sekarang dan 20 gram perak yang diserahkan besok atau pekan depan. Termasuk dalam hal ini adalah jual-beli emas tidak tunai atau secara kredit. Akad ini disebut riba nasi’ah.
Apakah Uang Kartal Dapat Disamakan dengan Emas dan Perak?
Emas dan perak yang merupakan mata uang utama di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat disamakan dengan mata uang sekarang. Keterangan ini merupakan hasil keputusan para ulama se-dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam Islami (Muslim World League) dalam muktamar V di Mekkah pada 1982. Dinyatakan, “Berdasarkan penelitian yang diajukan kepada Majelis Lembaga Fikih Islam tentang uang kartal (real money) serta hukumnya menurut syariat, setelah ditelaah, dikaji dan didiskusikan oleh para anggota majlis, maka diputuskan sebagai berikut:
”Pertama, berdasarkan bahwa asal uang adalah emas dan perak, dan berdasarkan illat berlakunya riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah (sebagai alat tukar) menurut pendapat ulama yang terkuat. Dan berdasarkan pendapat ulama bahwa mutlaq tsamaniyah tidak terbatas pada emas dan perak saja, sekalipun statusnya adalah logam mulia yang menjadi patokan. Dan berdasarkan bahwa uang kartal pada masa sekarang dianggap sebagai alat tukar, menggantikan emas dan perak, dan sebagai alat ukur harga, karena tidak ada lagi orang yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar. Dan uang kartal telah dipercaya orang untuk menginvestasikan, dan menyimpan hartanya, serta digunakan sebagai alat pembayar kewajiban, sekalipun nilai uang kartal bukan pada zat fisiknya, akan tetapi nilainya berasal dari kepercayaan pengguna untuk dipindahtangankan, dari hal itulah sifat tsamaniyah (nilai) dihasilkan. Dan karena pendapat yang terkuat tentang illat riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah dan hal itu terdapat pada uang kartal.”
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, majelis memutuskan uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri. Hukum uang kartal sama dengan uang emas dan perak, maka wajib mengeluarkan zakat dari uang kartal. Riba fadhl dan nasiah juga berlaku pada uang kartal, layaknya emas dan perak … Maka hukum-hukum yang berkenaan dengan emas dan perak juga berlaku pada uang kartal.
”Kedua, uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri sama seperti uang emas dan perak. Uang kartal terdiri dari berbagai jenis, sesuai dengan jenis negara yang mengeluarkannya. Maka mata uang Saudi satu jenis, mata uang Amerika jenis yang lain, dan seterusnya setiap mata uang sebuah negara merupakan jenis tersendiri. Dengan demikian, dapat terjadi riba fadhl dan nasiah pada setiap mata uang sebagaimana terjadi riba fadhl dan nasiah pada uang emas dan perak.”
Konsekuensi dari keputusan ini adalah tiga hal berikut.
- Tidak boleh menukar satu mata uang dengan mata uang negara yang lain, atau dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai. Misalnya, menukar Riyal Saudi dengan mata uang lain dengan cara tidak tunai (serah-terima kedua mata uang tidak di tempat akad berlangsung), tidak dibolehkan.
- Tidak boleh menukar uang menjadi pecahan dalam satu mata uang dengan nominal yang berbeda, sekalipun dilakukan tunai. Misalnya, satu lembar nominal SR 10.00 ditukar dengan 11 lembar nominal SR 1.00, tidak boleh.
- Boleh menukar mata uang yang berlainan jenis berbeda nominalnya dengan syarat berlangsung tunai. Misalnya, menukar 1 dolar AS dengan 3 Riyal Saudi dengan cara tunai, dibolehkan.
”Ketiga, wajib mengeluarkan zakat uang kartal bila nominalnya senilai salah satu nishob zakat emas atau perak, atau menggenapkan nishob bersama harta yang lain seperti harta perniagaan.”
”Keempat, boleh menjadikan uang kartal sebagai modal pada akad jual-beli salam dan sebagai modal dalam berserikat. Wallahu a’lam.“
Demikian juga keputusan Muktamar III para ulama Islam se-dunia di bawah Oorganusasi Kerjasama Islam yang diselenggarakan di Amman, Yordania pada 1986.
Dengan demikian, selembar uang Rp 100.000 harus ditukar dengan nominal uang rupiah pecahan yang sama (dengan 10 lembar uang Rp10.000) dan harus tunai. Bila tidak tunai, terjadilah riba nasiah. Dari hasil keputusan muktamar tersebut, maka 100 dollar AS boleh ditukar dengan, misalnya, Rp 900.000 dengan syarat harus tunai. Begitu juga jual-beli emas. Tidak boleh membeli emas dengan cara kredit. Karena antara emas dan uang kartal illatnya sama, yaitu tsamaniyah, hanya jenisnya yang berbeda. Maka disyaratkan antara barang emas dan uang harus diserahkan-terimakan tunai di majelis akad berlangsung, sebagaimana disampaikan Dr. Sulaiman At Turki dalam Ba’i taqsith wa ahkamuhu, hal, 141).
Juga termasuk riba ba’i membeli emas dengan cara memberikan uang muka/down payment kemudian melunasi sisanya pada waktu yang ditentukan dan emas diterima.
Kasus tentang jual-beli emas dengan membayar uang muka saja pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, Nomor fatwa 3211, berbunyi, ”Pertanyaan: Seorang pelanggan datang ingin membeli emas ke tokoku, ia hanya membawa uang tunai cukup untuk bayar DP saja. Ia berkata, “Saya beli emas yang ini, saya hanya bawa DP saja, mohon emasnya disisihkan dan ini uangnya! Nanti saya datang untuk melunasinya.” Beberapa waktu kemudian ia datang melunasi dan menerima emas tersebut. Apa hukum jual-beli ini? Jawab: Jual-beli ini tidak dibolehkan, karena serah-terima barang tidak tunai.” (Fatawa lajnah daimah jilid XIII, hal. 476)
Termasuk bentuk riba ba’i membeli emas via internet, karena pembeli melakukan transaksi beli emas melalui website dari salah satu pedagang emas (Dinar) dan membayar tunai harganya dengan fasilitas kartu kredit atau internet banking. Setelah transaksi jual-beli dilakukan, pedagang mengirimkan emas yang dipesan ke pembeli, yang tentunya akan diterima pembeli setelah beberapa waktu transaksi dilakukan. Ini termasuk riba ba’i karena illat emas dan uang kartal adalah sama. Namun serah terima barang dan uang tidak tunai. Uang sudah diterima penjual, sementara pembeli belum emas tersebut.
Juga termasuk riba ba’i yaitu jual-beli emas melalui telepon, karena serah-terima komoditi riba yang sama illatnya tidak tunai. Hal ini pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa No. 3211, yang berbunyi, ”Soal: Terkadang pemilik toko emas membeli emas dalam jumlah besar dari salah satu agen emas di luar kota melalui telepon, dan jenis emas yang dipesan jelas. Setelah terjadi kesepakatan harga, kemudian pembeli mengirim uang kepada penjual melalui transfer rekening bank, apakah transaksi ini dibolehkan, atau apa yang harus dilakukan? Jawab: transaksi ini hukumnya tidak boleh, karena serah-terima barang emas dan uang tidak tunai, padahal keduanya adalah komoditi riba. Transaksi ini termasuk riba nasi’ah, hukumnya haram. Solusinya, pada saat uang diterima, akad jual-beli diulang kembali agar akad berlangsung tunai.” (Fatawa lajnah daimah, jilid XIII, hal. 475). (PM)
Pull-quote:
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, dan sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga boleh berbeda dengan syarat tunai.” (HR. Muslim).
- Benda ribawi yang disebutkan dalam dalil ada enam macam: emas, perak, bur (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), kurma, dan garam.
- Berdasarkan illah-nya, enam benda ribawi di atas dibagi menjadi dua:
- Benda yang menjadi alat tukar. Dalam hadis diwakili dengan emas dan perak. Termasuk dalam hal ini adalah semua mata uang yang berlaku dalam setiap negara.
- Benda yang menjadi bahan makanan. Dalam hadis disebutkan gandum kasar, gandum halus dan kurma. Dianalogikan dengan hal ini adalah beras, dan semua bahan makanan pokok di setiap daerah.
- Riba ada dua: riba fadhl dan riba nasiah:
- Riba fadhl: penambahan pada transaksi benda ribawi yang satu macam.
- Riba nasiah: penundaan penyerahan benda ribawi yang sama illah-nya, di luar majelis akad.
- Aturan tukar-menukar (jual-beli) barang ribawi:
- Tukar-menukar barang ribawi yang sama jenisnya, seperi emas x ditukar emas Y, rupiah ditukar dengan rupiah. Aturannya, harus sama dan tunai.
- Tukar-menukar barang ribawi yang beda jenis, tapi sama illah-nya. Seperti emas ditukar dengan perak, beli emas dengan uang kartal. Aturannya, harus tunai, meskipun beratnya atau nilai nominalnya boleh beda.
- Tukar-menukar barang ribawi yang beda jenis, dan beda illah-nya, seperti uang dengan bahan makanan. Tidak ada aturan yang mengikat untuk jual beli ini, sehingga boleh dilakukan tidak tunai.
- Tidak boleh jual beli emas, perak, tukar valas melalui online, karena jual-beli online mengharuskan transaksi yang tidak tunai.